Rasyah Risqullah Anwar Ramadhan Posted January 25, 2022 Posted January 25, 2022 "This is What Life Purpose to Be" Kehidupan adalah perjalanan yang penuh dengan tantangan rintangan namun pada setiap rintangannya akan terdapat pengajaran dan nilai moral yang tinggi bagi kehidupan seseorang. Barry McLovis, lahir dan besar di Manchester, United Kingdom. Tidak ada yang bisa dilakukan anak sekecilnya ketika ia kerap dibully oleh teman-temannya. Barry, anak semata wayang dari pasangan Niels Zachary & Aubrey Malliana. Kedua orang tuanya dilanda kemiskinan sejak ayahnya pensiun dari perusahaan konstruksi, sementara ibunya hanya bermata-pencaharian sebagai penjahit. Keluarga miskin hidup di tengah kota yang besar tentunya mudah sekali dipandang remeh dan rendah. Masuk Junior High School, Barry selalu dibully karena sepatunya yang robek pada bagian telapak kanannya dan bekas benang jahitan ibunya di pangkal lengan kemeja sekolahnya. Namun Barry bukanlah orang yang mau dipandang rendah, dia adalah orang yang selalu membungkam tanpa bergerak secara fisik, ia membungkam orang dengan caranya sendiri, yaitu kesuksesan. Orang tuanya kerap sekali memberinya pelajaran moral dan etika bagaimana cara mendapatkan sikap dan attitude yang baik, bagaimana menjadi manusia yang manusiawi. Meskipun susah, orang tuanya tidak pernah berhenti untuk menyisipkan uang mereka agar anak semata wayangnya itu bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya. Mereka memiliki ambisi dan tekad bahwa Barry harus menjadi "Orang" suatu saat nanti. Keluarganya tinggal di rumah tua, untungnya meskipun kumuh dan tampak tua rumah itu adalah rumah mereka sendiri, mereka tidak menyewa ataupun menumpang dari orang lain. Ayahnya beralih profesi menjadi tukang kayu, membuat furnitur dan menjualnya ke toko perabot rumah tangga. Ibunya masih bekerja sebagaimana dulunya. Keluarga kecil ini cukup harmonis tidak ada yang terlihat aneh, semuanya terlihat baik-baik saja. Barry begitu menyayangi kedua orang tuanya, ia tak ingin melewatkan masa-masanya bersama kedua orang tuanya selagi ia mampu dan masih berada di dekat mereka. Setiap hari untungnya ayahnya memiliki pesanan furnitur, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak tetapi cukup untuk menghidupkan tiga penghuni rumah tua tersebut. Barry juga sering membantu ayahnya memotong kayu, mengecat furnitur dengan cat kayu dan lain sebagainya. Dia semakin dewasa saja, dia sudah beranjak menjadi seorang remaja yang duduk di bangku Senior High School. Sejak tahun terakhirnya di Junior High School, dia mendapatkan juara umum dan direkomendasikan oleh sekolahnya untuk menuntut ilmu di sekolah yang lebih bagus lagi untuk masa-masa SMA nya. Tak ada ragu dan kesedihan dalam hatinya, ia gembira akan itu semua, termasuk orang tuanya yang selalu tersenyum ketika melihat anaknya selalu belajar untuk masa depannya. Orang tuanya selalu berkata, "Jangan jadi seperti kami, kami ini susah, kami ini tidak punya apa-apa". Kata-kata itu ia pegang sampai ia dewasa, pada umurnya yang 17 tahun satu bulan setelah perayaan sweet seventeennya. Ayahnya terkena serangan jantung dan harus dilarikan ke rumah sakit terdekat, beberapa jam setelah masuk ke ruang ICU, ayahnya dinyatakan meninggal dunia oleh pihak rumah sakit. Ibunya melemah dan tak berdaya semuanya tampak rapuh kecuali Barry yang terus menggenggam kata-kata orang tuanya itu. Ia bertekad bersungguh-sungguh untuk mengindahkan impian-impian keluarganya. Ia juga tidak ingin terlalu dalam meratapi kepergian sang Ayah. Ibunya semakin rentan terhadap penyakit, hal itu ia rasakan sejak kehilangan sang Kekasih. Namun waktu terus berjalan, Barry terus tumbuh dewasa dengan paras yang tampan dan tubuh yang bagus. Postur tubuhnya sangatlah menggambarkan keberanian dan seorang petarung. Ia siap melangkah lebih jauh dalam hidupnya, ia telah belajar selama ini bagaimana cara mandiri. Tepat setelah ia lulus dari Senior High School, beberapa tahun setelah kepergiaan sang Ayah. Barry mendapatkan beasiswa di San Rafael, California, Amerika Serikat. Ia gembira bukan kepalang. Ibunya hanya tersenyum di bibir namun menyisakan sedih akan kepergian anaknya untuk menuntut ilmu. Namun sang Ibu merelakan dan mendoakan anaknya yang pergi ke Amerika. Ibunya bangga meskipun pahit melepaskan anak semata wayangnya. Begitulah kasih seorang ibu, di umurnya yang mulai menua dia tetap berusaha tersenyum kepada anaknya agar anaknya tidak patah semangat dan tidak tahu keadaan kesehatan ibunya. Sudah beberapa semester ia lalui, dia lulus dengan predikat CumLaude di universitas San Rafael dengan jurusan Hukum & Keadilan. Namun tepat di hari wisudanya, Barry mendapatkan surat dari rumah sakit di Inggris bahwa ibunya meninggal dunia karena Tuberkolosis. Barry tidak bisa pulang ke Inggris, dia harus tetap menghidupkan dirinya mandiri karena ia tidak punya dana dan harus bekerja di Amerika Serikat sampai suatu ketika dia memutuskan pindah dari San Rafael ke Los Santos, California. Di sana ia bertekad untuk mengejar mimpi dan impian yang belum terwujud demi membahagiakan kedua orang tuanya yang telah tiada, meskipun ia tau bahwa mereka telah meninggal dunia namun semangatnya semakin membara dan siap menyambut masa depannya. Questions Character Story Pertama: No Durasi bermain di JG:RP: 3 tahun lebih URL Namechange: Account UCP yang saya miliki: Tidak ada Account Forum yang saya miliki: Saya MWahyuDinarta selaku pemilik account UCP wemafioso bersedia jika Character saya yang disebut di atas (Barry McLovis) dibanned permanent jika character story yang saya buat di atas berupa plagiat dari story milik orang lain. Quote
Rasyah Risqullah Anwar Ramadhan Posted January 25, 2022 Author Posted January 25, 2022 "This is What Life Purpose to Be" Kehidupan adalah perjalanan yang penuh dengan tantangan rintangan namun pada setiap rintangannya akan terdapat pengajaran dan nilai moral yang tinggi bagi kehidupan seseorang. Barry McLovis, lahir dan besar di Manchester, United Kingdom. Tidak ada yang bisa dilakukan anak sekecilnya ketika ia kerap dibully oleh teman-temannya. Barry, anak semata wayang dari pasangan Niels Zachary & Aubrey Malliana. Kedua orang tuanya dilanda kemiskinan sejak ayahnya pensiun dari perusahaan konstruksi, sementara ibunya hanya bermata-pencaharian sebagai penjahit. Keluarga miskin hidup di tengah kota yang besar tentunya mudah sekali dipandang remeh dan rendah. Masuk Junior High School, Barry selalu dibully karena sepatunya yang robek pada bagian telapak kanannya dan bekas benang jahitan ibunya di pangkal lengan kemeja sekolahnya. Namun Barry bukanlah orang yang mau dipandang rendah, dia adalah orang yang selalu membungkam tanpa bergerak secara fisik, ia membungkam orang dengan caranya sendiri, yaitu kesuksesan. Orang tuanya kerap sekali memberinya pelajaran moral dan etika bagaimana cara mendapatkan sikap dan attitude yang baik, bagaimana menjadi manusia yang manusiawi. Meskipun susah, orang tuanya tidak pernah berhenti untuk menyisipkan uang mereka agar anak semata wayangnya itu bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya. Mereka memiliki ambisi dan tekad bahwa Barry harus menjadi "Orang" suatu saat nanti. Keluarganya tinggal di rumah tua, untungnya meskipun kumuh dan tampak tua rumah itu adalah rumah mereka sendiri, mereka tidak menyewa ataupun menumpang dari orang lain. Ayahnya beralih profesi menjadi tukang kayu, membuat furnitur dan menjualnya ke toko perabot rumah tangga. Ibunya masih bekerja sebagaimana dulunya. Keluarga kecil ini cukup harmonis tidak ada yang terlihat aneh, semuanya terlihat baik-baik saja. Barry begitu menyayangi kedua orang tuanya, ia tak ingin melewatkan masa-masanya bersama kedua orang tuanya selagi ia mampu dan masih berada di dekat mereka. Setiap hari untungnya ayahnya memiliki pesanan furnitur, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak tetapi cukup untuk menghidupkan tiga penghuni rumah tua tersebut. Barry juga sering membantu ayahnya memotong kayu, mengecat furnitur dengan cat kayu dan lain sebagainya. Dia semakin dewasa saja, dia sudah beranjak menjadi seorang remaja yang duduk di bangku Senior High School. Sejak tahun terakhirnya di Junior High School, dia mendapatkan juara umum dan direkomendasikan oleh sekolahnya untuk menuntut ilmu di sekolah yang lebih bagus lagi untuk masa-masa SMA nya. Tak ada ragu dan kesedihan dalam hatinya, ia gembira akan itu semua, termasuk orang tuanya yang selalu tersenyum ketika melihat anaknya selalu belajar untuk masa depannya. Orang tuanya selalu berkata, "Jangan jadi seperti kami, kami ini susah, kami ini tidak punya apa-apa". Kata-kata itu ia pegang sampai ia dewasa, pada umurnya yang 17 tahun satu bulan setelah perayaan sweet seventeennya. Ayahnya terkena serangan jantung dan harus dilarikan ke rumah sakit terdekat, beberapa jam setelah masuk ke ruang ICU, ayahnya dinyatakan meninggal dunia oleh pihak rumah sakit. Ibunya melemah dan tak berdaya semuanya tampak rapuh kecuali Barry yang terus menggenggam kata-kata orang tuanya itu. Ia bertekad bersungguh-sungguh untuk mengindahkan impian-impian keluarganya. Ia juga tidak ingin terlalu dalam meratapi kepergian sang Ayah. Ibunya semakin rentan terhadap penyakit, hal itu ia rasakan sejak kehilangan sang Kekasih. Namun waktu terus berjalan, Barry terus tumbuh dewasa dengan paras yang tampan dan tubuh yang bagus. Postur tubuhnya sangatlah menggambarkan keberanian dan seorang petarung. Ia siap melangkah lebih jauh dalam hidupnya, ia telah belajar selama ini bagaimana cara mandiri. Tepat setelah ia lulus dari Senior High School, beberapa tahun setelah kepergiaan sang Ayah. Barry mendapatkan beasiswa di San Rafael, California, Amerika Serikat. Ia gembira bukan kepalang. Ibunya hanya tersenyum di bibir namun menyisakan sedih akan kepergian anaknya untuk menuntut ilmu. Namun sang Ibu merelakan dan mendoakan anaknya yang pergi ke Amerika. Ibunya bangga meskipun pahit melepaskan anak semata wayangnya. Begitulah kasih seorang ibu, di umurnya yang mulai menua dia tetap berusaha tersenyum kepada anaknya agar anaknya tidak patah semangat dan tidak tahu keadaan kesehatan ibunya. Sudah beberapa semester ia lalui, dia lulus dengan predikat CumLaude di universitas San Rafael dengan jurusan Hukum & Keadilan. Namun tepat di hari wisudanya, Barry mendapatkan surat dari rumah sakit di Inggris bahwa ibunya meninggal dunia karena Tuberkolosis. Barry tidak bisa pulang ke Inggris, dia harus tetap menghidupkan dirinya mandiri karena ia tidak punya dana dan harus bekerja di Amerika Serikat sampai suatu ketika dia memutuskan pindah dari San Rafael ke Los Santos, California. Di sana ia bertekad untuk mengejar mimpi dan impian yang belum terwujud demi membahagiakan kedua orang tuanya yang telah tiada, meskipun ia tau bahwa mereka telah meninggal dunia namun semangatnya semakin membara dan siap menyambut masa depannya. Questions Character Story Pertama: No Durasi bermain di JG:RP: 3 tahun lebih URL Namechange: Account UCP yang saya miliki: Tidak ada Account Forum yang saya miliki: Saya Thomas Hewitt selaku pemilik account UCP wemafioso bersedia jika Character saya yang disebut di atas (Thomas)dibanned permanent jika character story yang saya buat di atas berupa plagiat dari story milik orang lain. 1 minute ago, Rasyah Risqullah Anwar Ramadhan said: Barry Thomas Hewiit Quote
Recommended Posts
Archived
This topic is now archived and is closed to further replies.